Selasa, 21 Desember 2010
lagu ombak
pantai yang perkasa adalah kekasihku, Dan aku adalah kekasihnya, Akhi rnya kami dipertautkan oleh cinta, Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya. Kupergi padanya dengan cepat Lalu berpisah dengan berat hati. Membisikkan selam at tinggal berulang kali. Aku segera bergerak diam-diam Dari balik kebiruan cake rawala Untuk mengayunkan sinar keperakan buihku Ke pangkuan keemasan pasirnya Da n kami berpadu dalam adunan terindah. Aku lepaskan kehausannya Dan nafasku memen uhi segenap relung hatinya Dia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada. Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cinta di telinganya, dan dia memelukku penuh damba Di terik siang kunyanyikan dia lagu harapan Diiringi kucupan-kucupan kasi h sayang Gerakku pantas diwarnai kebimbangan Sedangkan dia tetap sabar dan tenan g. Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahan Kala air pasang kami saling memeluk K ala surut aku berlutut menjamah kakinya Memanjatkan doa Seribu sayang, aku selal u berjaga sendiri Menyusut kekuatanku. Tetapi aku pemuja cinta, Dan kebenaran ci nta itu sendiri perkasa, Mungkin kelelahan akan menimpaku, Namun tiada aku bakal binasa. Khalil Gibran DARI PETIKAN SANG NABI (THE PROPHET) PERENGGAN 12 Seorang ahli hukum menyusul bertanya; Dan bagaimana tentang undang-undang kita? Dijawab nya; Kalian senang meletakkan perundangan, namun lebih senang lagi melakukan per langgaran, Bagaikan kanak-kanak yang asyik bermain di tepi pantai, yang penuh ke sungguhan menyusun pasir jadi menara, kemudian menghancurkannya sendiri, sambil gelak tertawa ria. Tapi, selama kau sedang sibuk menyusun menara pasirmu, sang l aut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi, Dan pada ketika kau menghancu rkan menara buatanmu, sang laut pun turut tertawa bersamamu. Sesungguhnya,
samudera sentiasa ikut tertawa, bersama mereka yang tanpa dosa. Tapi bagaimanaka h mereka, yang menganggap kehidupan bukan sebagai samudera, dan melihat undang-u ndang buatannya sendiri, bukan ibarat menara pasir? Merekalah yang memandang keh idupan, laksana sebungkal batu karang, dan undang-undang menjadi pahatnya, untuk memberinya bentuk ukiran, menurut selera manusia, sesuai hasrat kemahuan. Bagai mana dia, si tempang yang membenci para penari? Bagaimana pula kerbau yang menyu kai bebannya, dam mencemuh kijang, menamakannya haiwan liar tiada guna? Lalu bet apa ular tua, yang tak dapat lagi menukar kulitnya, dan kerana itu menyebut ular lain sebagai telanjang, tak kenal susila? Ada lagi dia, yang pagi- pagi mendata ngi pesta, suatu keramaian perkahwinan, kemudian setelah kenyang perutnya, denga n badan keletihan, meninggalkan keramaian dengan umpatan, menyatakan semua pesta sebagai suatu kesalahan, dan semua terlibat melakukan kesalahan belaka. Apalah yang kukatakan tentang mereka, kecuali bahawa memang mereka berdiri di bawah sin ar mentari,
namun berpaling wajah, dan punggung mereka membelakangi? Mereka hanya melihat ba yangannya sendiri, dan bayangan itulah menjadi undang-undangnya. Apakah erti san g suria bagi mereka, selain sebuah pelempar bayangan? Dan apakah kepatuhan hukum baginya, selain terbongkok dan melata di atas tanah, mencari dan menyelusuri ba yangan sendiri? Tapi kau, yang berjalan menghadapkan wajah ke arah mentari, baya ngan apa di atas tanah, yang dapat menahanmu? Kau yang mengembara di atas angin, kincir mana yang mampu memerintahkan arah perjalananmu, hukum mana yang mengika tmu, bila kau patahkan pikulanmu, tanpa memukulnya pada pintu penjara orang lain ? Hukum apa yang kau takuti, jikalau kau menari-nari, tanpa kakimu tersadung bel enggu orang lain? Dan siapakah dia yang menuntutmu, bila kau mencampakkan pakaia nmu, tanpa melemparkannya di jalan orang lain? Rakyat Orphalese, kalian mungkin mampu memukul gendang, dan kalian dapat melonggarkan tali kecapi, namun katakan, siapakah yang dapat menghalangi, burung pipit untuk menyanyi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar